Kutitip Surat Ini Untukmu

Posted: April 22, 2011 in Artikel Islam

Assalaamu’alaikumwarahmatullah,

Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin…

Wahai anakku, Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka… Wahai anakku! Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.

Wahai anakku… 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi… Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu. Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku. Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan. Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air ke kerongkonganku.

Wahai anakku… telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu… itulah kebahagiaanku! Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu. Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu. Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku. Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang. Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya. Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu. Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!! Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi. Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti. Sekiranya engakau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu… Mana balas budimu, nak!? Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala telah berfirman,

Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60)

Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!

Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu? Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantumu . Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku! Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta’ala mencintai orang yang berbuat baik. Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain. Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan, dan berbudi. Anakku… Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!

Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits :

Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!!(HR. Ahmad)

Anakku, aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah. Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda:“Shalat pada waktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Berbakti kepada kedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.  (Muttafaqun ‘alaih)

Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas. Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya? Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :

Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa dia,wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab, “Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)

Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada dokter yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku. Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu. Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.

Anakku… Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.

Wassalam,

Ibumu

Diketik ulang dari buku ‘Kutitip Surat Ini Untukmu’ karya Ustadz Armen Halim Naro, Lc rahimahullah

Hikmah Dibalik Kebaikan

Posted: April 14, 2011 in Artikel Islam

PENGANTAR PENULIS

Semangat beribadah terkadang menurun, semangat untuk beramal dan bersedekah terkadang hilang. Padahal, harta dan kekayaan yang dimilikinya melimpah. Bahkan, dalil dari Al-Qur’an serta As-Sunnah akan keutamaan bersedekah telah banyak dihafalkan. Demikianlah jiwa terkadang diselimuti rasa malas dan dihinggapi persasaan futur.
Terkadang, jiwa takala diceritakaan kisah-kisah penuh makna dan hikmah, maka jiwa tersebut akan berbisik dan mengeluh, “ah! Itu kan cuma bohongan, cuma kebetulan saja, lagipula apa untungnya beramal dan bersedekah? Untuk keperluan diri sendiri saja sudah susah, ngapain bantu-bantu orang lain segala? Hidup sudah susah ditambah susah.”
Demikianlah, jiwa selalu mencari-cari alasan untuk bisa melegitimasi kekurangan yang ada padanya. Namun, bagaimana jika cerita teladan tersebut adalah sebuah kisah nyata…? Terlebih lagi, orang tersebut adalah orang terdekat dan kerap kali kita berjumpa padanya…? Tentunya hal ini akan lebih membekas dan memberi perubahan positif dalam jiwa, insya Allah.
Hal inilah yang memotivasi penulis untuk menulis sebuah pengalaman yang penulis alami berkaitan dengan kisah nyata tentang “keajaiban bersedekah”.
Bukanlah maksud penulis untuk riya’, sombong, dan sum’ah. Tidak demi Allah azza wa jalla. Namun, mengingat betapa banyak faedah serta pelajaran yang dapat diambil hikmahnya, maka dari itu penulis memberanikan diri untuk menulis kisah tersebut. Allahuakbar!
Dan “tak ada gading yang tak retak,” tak ada sesuatu yang sempurna. Termasuk penulis juga mempunyai banyak kesalahan dan khilaf tentunya.
Akhirnya penulis memohon kepada Allah azza wa jalla agar sebuah cerpen teladan ini bermanfaat bagi para pembaca, tentunya bagi penulis sendiri yang mana masih sangat jauh dari sifat dan akhlaq’ para salafush shalih. Penulis juga memohon serta berlindung kepada Allah azza wa jalla dari segala bentuk riya’, sombong, sum’ah tentunya. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa kita semua yang tampak maupun yang tersembunyi.
Amin Ya Rabbal’alamin

Penulis

Hendar bin Abu Ahmad
Masjid Thalib rahmatullah, NFBS.

akhir Februari 2011

UJIAN KEIKHLASAN HATI

Jum’at, 25 Februari 2011. Kamar 04 Asrama Ali bin Abi Thalib
Manusia adalah makhluk sosial yang mana tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, setiap orang pasti membutuhkan bantuan siapapun baik ketika membutuhkan bahkan kala ketika tidak membutuhkan sekalipun. Hal inilah yang menimbulkan persatuan dan ukhwah antara sesama umat islam khususnya. Hal inilah yang saya rasakan ketika saya sedang berusaha membantu teman saya ketika sedang dalam kesulitan yang ia alami, berikut kisahnya.
Hari Jum’at yang lalu, pagi hari cuaca begitu cerah secerah hati saya saat itu. Setelah sarapan pagi saya mempersiapkan barang bawaan dan perlengkapan alat tulis saya untuk Try Out pada hari tersebut. Ketika saya hendak berangkat dan mengambil tas saya, tiba-tiba teman sekamar saya, sebut saja namanya Ikhwah. Datang menghampiri saya dan mengutarakan maksudnya untuk meminta sejumlah uang sebesar 50.000 rupiah untuk keperluan membayar hutang, saya kenal baik dengan ikhwah tersebut ia sering meminjam atau meninta uang kepada saya, maklum ia teman dekat saya semenjak kelas 10 dulu.
Awalnya saya tak ragu untuk meminjamkan uang kepada ikhwah tersebut, namun ketika saya mengeluarkan dompet dari saku celana saya, entah mengapa tiba-tiba muncul sebuah keraguan dalam hati saya antara meminjamkan atau tidak, untuk beberapa saat saya terdiam dan memandang sekilas wajah ikhwah tersebut, nampak sang ikhwah sangat mengharapkan uang tersebut, kiranya saya memberikan uang tersebut tentulah ia akan sangat senang disebabkan ini untuk keperluan melunasi hutangnya. Ketika saya mengambil selembar uang 50.000 rupiah dari dompet saya dan hendak diberikan kepada ikhwah tersebut, saya teringat sebuah kejadian yang saya alami dengan sang ikhwah beberapa bulan lalu.

***

Suatu pagi, saat istirahat sekolah saya pergi menuju kantin thalib. Ternyata saya lupa bahwa uang saya sudah habis, kebetulan di sana ada teman saya (sang ikhwah tersebut) sedang menikmati sebuah makanan ringan yang dibelinya dari kantin. Saya menghampirinya karena bermaksud untuk meminjam uang sejumlah 5000 rupiah untuk membeli sarapan pagi, karena saya belum sarapan pagi disebabkan jatah penanting asrama sudah habis. Ketika saya mengutarakan maksud saya kepadanya, ternyata tanpa saya duga ternyata ia menolak seraya berkata, “nggak ada uang.”
Padahal saya mengetahuinya kalau ikhwah tersebut memiliki sejumlah uang, wajar saja barusan ia membeli sebuah makanan, bagaimana ia bisa mengatakan bahwa ia tidak memiliki uang? Kemudian saya mencoba kembali untuk meminjam uang tersebut.

“tolong sih, pinjam limaribu saja, nanti jika saya dijenguk, saya ganti uang antum. Saya janji insya Allah.”
Nampak wajah kekesalan pada ikhwah tersebut, kemudian ikhwah itu menjawab, “dibilangin nggak punya uang ngeyel banget sih.”
Menyadari ikhwah tersebut mulai marah terhadap saya, maka lebih baik saya meninggalkannya, bertepatan dengan itu nasyid bel masuk berbunyi. Dengan perasaan kesal dan dendam saya berjalan kembali menuju ruang kelas 12 IPS, padahal waktu itu saya sangat lapar. “Aah, sudahlah! Dasar pelit, padahal ia sering meminjam uang kepada saya. Biarlah saya yakin suatu hari ia juga akan membutuhkan bantuan saya, jangan harap saya mau membantunya, semoga Allah membalasnya.” Gumamku dalam hati yang dipenuhi oleh perasaan dendam – yang tentunya itu berasal dari syaitan.
Memang benar yang dikatakan oleh sebagian besar teman-teman thalib, “manusia memang begitu, ketika susah ia dekat seseorang yang dapat menolongnya, namun ketika senang ia melupakan jasa-jasanya.”.

***

“gimana, boleh pinjam uangnya nggak?”. Pertanyaan ikhwah tersebut menyadari saya dari lamunan saya, kemudian untuk kedua kalinya saya menatap wajah sang ikhwah, ternyata ia memang benar-benar membutuhkan uang tersebut. Pada saat bersamaan hati saya berbisik, “ngapain repot-repot mikirin dia, dulu waktu lagi susah dia nggak pernah mikirin kamu, ayo lakukan! Balaskan dendammu, buat ia merasakan apa yang pernah kamu rasakan saat itu.”. ketika saya hampir membatalkan niat saya untuk meminjamkan uang kepada ikhwah tersebut, saya teringat sebuah ayat dari Al-Qur’an.

bukankah sebuah kebaikan akan dibalas kebaikan juga.” (Q.S Ar-Rahman: 60).

Juga sebuah hadits shahihh dari Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam:

barang siapa yang membantu kesulitan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan membantunya ketika ia mengalami kesulitan.” (H.R Bukhari, dishahihhkan oleh syaikh Al-Albani)

Sambil merundukkan wajah saya, dengan mengucapkan bismillah dalam hati yang diselimuti dengan keraguan yang mendalam, saya mengeluarkan selembar uang limapuluhribu rupiah dari dalam dompet saya, sambil memejamkan mata saya memberikan uang tersebut kepadanya, tentu saja sang ikhwah sangat senang, dengan mengucapkan terima kasih, raut wajahnya kini berubah menjadi cerah. Tanpa berfikir panjang saya mengambil tas dan langsung berangkat menuju sekolah, senang rasanya membantu kesulitan orang lain.
Selesai sholat Jum’at saya merasa ngantuk, saya memutuskan untuk berbaring di shaf depan tepatnya depan mimbar. Saat berbaring saya kembali teringat kejadian tadi pagi ketika si ikhwah meminjam sejumlah uang ke saya, berbagai godaan dan rasa menyesal mulai menyerang hati saya, saya beristihfar menyikapi hal tersebut, karena tentunya hal tersebut datangnya dari syaitan, “ah sudahlah yang penting ikhwah tersebut merasa senang.”

***

SUBHANALLAH…TERNYATA ALLAH MEMBALASNYA
Sabtu, 26 Februari 2011. Saung Cek Dam, NFBS
Alhamdulillah, ternyata Try Out pada hari itu selesai lebih awal dari biasanya, ketika saya hendak menuju asrama Ali bin Abi Thalib, salah seorang mutarabbi saya mengajak saya untuk menghadiri Nufi Mart aniversary event, yaitu acara satu tahun berdirinya Nufi Mart yang pada hari itu ada diskon besar-besaran di Nufi Mart, mutarabbi saya mengajak saya untuk makan di sebuah tempat dimana disana menjual ayam goreng crispy, kemudian ia memesan 2 porsi ayam goreng, sambil menunggu pesanan ia mengajak saya untuk mengobrol, ternyata ia bermaksud untuk memberikan suatu titipan dari ayahnya, sambil mengelurkan amplop putih, ia berkata, “kak, ini ada titipan dari abi buat kakak soalnya abi mau ketemu sama kakak nanyain tentang perkembangan aku, katanya; semoga kakak sabar jadi murrabbinya aku, soalnya kata abi, aku ini anaknya agak nakal.”. saya menerima amplop tersebut karena – sejujurnya saya tidak mengetahui apa isi amplop tersebut. Ketika sedang asyik mengobrol tentang rencana bakti sosial halqah di sebuah panti asuhan, seorang khadimah mengantarkan ayam goreng pesanan kami, kamipun makan bersama, setelah makan ia pamit pergi karena ingin bertemu orang tuanya, ternyata ia sedang dijenguk pada hari itu.
Selesai makan saya menyempatkan diri untuk mampir ke Nufi Mart, untuk membeli beberapa keperluan, saya membeli beberapa minuman sari buah dan mi instan, ternyata saya mendapatkan sebuah undian karena belanja diatas 25.000 rupiah, saya mengambil undian tersebut dan alhamdulillah saya mendapatkan notebook dari undian tersebut, setelah itu saya kembali menuju asrama Ali bin Abi Thalib tercinta.
Setibanya di kamar 04, saya langsung merebahkan diri di atas ranjang, tiba-tiba saya teringat sebuah amplop putih yang diberikan oleh mutarabbi saya tadi saat makan bersama, saya sempat berfikir tentang isinya bisa jadi itu adalah sebuah surat dari ayahnya, karena saya dan ayah sang mutarabbi tersebut sudah kenal cukup dekat. Dengan perlahan saya membuka isi amplop tersebut, ternyata…subhanalah!!! isinya adalah uang sebesar 200 ribu rupiah. Pada awalnya saya tidak pernah terpikirkan akan hal ini, namun setelah saya merenung sejanak barulah saya menyadari akan suatu hal, mungkin saja ini adalah balasan dari Allah azza wa jalla atas kebaikan yang pernah saya perbuat terhadap teman saya, ikhwah, kemarin. Subhanallah, Allah membalasnya tepat hari ini, saya sangat bersyukur dan berusaha untuk mengambil pelajaran berharga dari apa yang telah saya alami. Memang benar ternyata harta hanyalah titipan Allah, hal inilah yang terus memotivasi saya hingga sekarang tentang keutamaan berbuat baik terhadap sesama umat islam khususnya.

***

SEBUAH RENUNGAN
Demikianlah para pembaca yang budiman, semoga penglaman yang sangat singkat ini mampu membangkitkan semagat kita semua dalam berbuat kebaikan.
Saya memohon maaf kepada para pembaca sekalian apabila terdapat kesalahan, atau ada cerita yang sebenarnya tidak patut untuk diceritakan, karena semata-mata saya menceritakan kisah ini disebabkan manfaat yang besar yang terkandung didalamnya. Sebenarnya masih banyak kisah-kisah lainnya tentang keutamaan berbuat kebaikan, namun hal ini sekiranya tidaklah patut untuk disebarluaskan khawatir timbul rasa bangga, riya’, sum’ah, dan lainnya, oleh karena itu rahasia harus tetap dijaga.
Akhir kata, semoga Allah memaafkan saya atas kekhilafan saya dalam menulis kisah ini, serta saya mengucapkan terima kasih kepada semua yang senantiasa memotivasi saya untuk terus berkarya.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh